Japan, Notes

Gaji Guru vs Anggaran Kunker

Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namun, kualitas pendidikan di Indonesia masih “seadanya”. Nasib para pendidiknya pun masih “apa adanya”. Hal itu sangat bertentangan dengan nasib para anggota dewan. Pada 2011 ini saja, anggaran kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri mereka mencapai 119 miliar dan diusulkan naik dua kali lipat pada tahun depan.

 

Guru vs DPR

            Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, guru adalah manusia juga, yang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk hidup. Jadi, sudah wajar jika guru mendapatkan gaji yang layak. Apalagi, menjadi guru merupakan profesi yang mulia, mendidik anak-anak dan generasi penerus bangsa agar mampu membangun agama dan negara.

            Kenyataannya, sekarang ini rata-rata pendapatan guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta, guru bantu Rp 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, wajar jika banyak guru yang melakukan pekerjaan sampingan, seperti mengajar di sekolah lain, memberi les, berdagang di warung, berjualan pulsa, dan lain sebagainya. Jika guru masih sibuk memikirkan urusan perut, bagaimana bisa mereka memaksimalkan kualitas mengajar anak didik.

            Masalah sekolah pun demikian. Sekolah bisa saja menjadi sekolah favorit dengan fasilitas yang memadai, tapi biayanya hanya bisa dijangkau oleh kalangan berduit. Bagi orangtua yang pendapatannya pas-pasan, harus merasa cukup dengan memasukkan anak-anaknya ke sekolah dengan fasilitas dan kualitas seadanya.

            Coba bandingkan dengan anggaran kunjungan kerja anggota dewan ke luar negeri. Saat ini, anggaran kunjungan ke luar negeri DPR bernilai Rp 1,7 miliar per rancangan undang-undang. Dengan 70 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011, anggaran mencapai Rp 119 miliar. Tahun depan, anggaran kunjungan kerja diusulkan naik menjadi Rp 3,4 miliar per rancangan undang-undang. Dengan 64 RUU yang diproyeksikan masuk dalam Prolegnas, DPR mengusulkan anggaran sebesar Rp 217,6 miliar (tempointeraktif.com).

            Kunjungan kerja DPR sendiri menuai berbagai kritik. Kunjungan Komisi VIII ke Australia misalnya. Persatuan Pelajar Indonesia di Australia mengkritik keras kunjungan yang bertujuan untuk studi banding RUU Fakir Miskin itu. Mereka menilai kunjungan itu tidak tepat sasaran karena anggota DPR tidak menemui langsung anggota parlemen Australia dan menteri di sana sebagai pembuat kebijakan. Selain itu, Komisi VIII juga tidak mengunjungi pusat penanganan kelompok masyarakat kurang mampu (tempointeraktif.com).

            Kunjungan kerja anggota Komisi II DPR ke India juga mendapat protes karena kunjungan tentang kependudukan yang hanya lima hari itu menghabiskan biaya Rp 453 juta. “Ini plesiran berjudul studi banding,” ujar Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi (liputan6.com).

 

Belajar dari Jepang

            Pada Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dirinya setelah dijajah Belanda selama 350 tahun. Saat itu, kondisi Jepang tidak kalah mengenaskannya dari Indonesia. Jepang baru saja kalah perang setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh sekutu. Namun, lihatlah kondisinya sekarang. Indonesia masih terseok-seok menjadi negara berkembang, sementara Jepang sudah berlari kencang menjadi negara maju. Mengapa hal ini bisa terjadi?

            Menurut cerita yang sangat terkenal, setelah Jepang luluh lantak akibat Perang Dunia II, Kaisar Jepang memanggil jenderal angkatan perangnya untuk menanyakan sesuatu. Yang ditanyakannya bukan jumlah pasukan yang tersisa untuk melakukan serangan balasan, melainkan, “Berapa guru yang tersisa agar bisa membangun negeri kembali?”

            Kisah itu sungguh luar biasa dan membawa dampak yang mengagumkan. Sekarang Jepang sudah menjadi negara maju karena memprioritaskan pendidikan. Di Indonesia, pemerintah masih sibuk mengurus dirinya sendiri. Anggota dewan yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat, malah memikirkan kepentingan pribadi. Yang minta mobil baru, gedung baru, juga kenaikan anggaran kunjungan kerja ke luar negeri.

            Tidak ada maksud untuk menyepelekan tugas DPR, tapi jika kinerja DPR dinilai tidak efektif dan hanya menghambur-hamburkan dana, lebih baik anggaran itu dialokasikan untuk hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu perbaikan fasilitas lembaga pendidikan dan meningkatkan gaji guru. Dengan kualitas sekolah yang memadai, setiap anak bisa mengenyam pendidikan yang bermutu. Jika kesejahteraan guru diperhatikan, mereka pun bisa menjalankan tugasnya dengan baik.